MENINGGALNYA Cahyono Sugiarto (44), pengendara motor, dalam kecelakaan di ruas Jalan Ajibarang-Bumiayu, Kabupaten Banyumas menjadi catatan kamtibmas Jateng awal tahun 2011. Seperti diberitakan (Suara Merdeka, 02/01/11), korban tewas tertabrak truk yang melaju dari arah berlawanan. Sebelumnya ia terjatuh ke sisi kanan, akibat menghindari kendaraan di depannya yang mengerem secara mendadak karena ada lubang di jalan.
Penyebab kecelakaan seperti itu yang menelan korban jiwa bukan kali pertama terjadi di negeri ini. Begitu banyak jalan berlubang yang tak terurus yang siap memangsa pengguna jalan raya, baik secaca langsung maupun tidak langsung seperti kejadian tersebut.
Dalam kehidupan bernegara yang beradab, adalah tanggung jawab negara untuk melindungi hak hidup (right to life) tiap individu yang ada dalam yurisdiksinya. Filosofi yang melandasi argumen tersebut adalah karena kebutuhan untuk terlindungi dari segala macam hal yang dapat merampas hak dan kebebasan dasarnya itulah manusia bersepakat memasuki kehidupan bernegara.
Diyakini, kehidupan bernegara akan lebih aman serta menjamin hak dan kebebasan manusia daripada kehidupan dalam keadaan alam (state of nature), yaitu yang kuat menguasai yang lemah dalam hubungan yang represif-eksploitatif bercorak hommo homini lupus.
Hak hidup sebagai salah satu hak yang dijamin dalam paham negara hukum (rule of law) tidak saja bersangkut-paut dengan isu hukuman mati dan perampasan nyawa secara sewenang-wenang. Pengurangan angka kematian bayi dan ibu melahirkan adalah salah satu interpretasi terhadap pemenuhan hak hidup.
Perlindungan terhadap hak hidup yang paling universal di antaranya adalah dengan mengkriminalisasi perampasan nyawa, sebagaimana juga dianut oleh KUHP. Singkatnya, negara wajib melakukan langkah-langkah legislasi agar hak yang terbilang sebagai hak yang tak dapat dikurangi (non-derogable rights) dapat terlindungi secara maksimal.
Dalam konteks jalan rusak dan berlubang sebagaimana menjadi penyebab tewasnya pengendara motor tersebut, negara ini sesungguhnya memiliki instrumen hukum yang mengaturnya. Pasal 24 UU Nomor 29 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (UU LLAJ) mewajibkan penyelenggara jalan untuk segera memperbaiki jalan yang rusak.
Lalai Kewajiban Sanksi penjara dan denda sebagaimana tertuang pada Pasal 273 UU itu, mengancam penyelenggara jalan yang akibat kegagalannya memenuhi kewajiban hukum memperbaiki jalan mengakibatkan kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa, luka ringan atau berat, dan kerusakan kerusakan kendaraan. Dikaitkan dengan UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan maka tanggung jawab pemeliharaan jalan terletak pada pundak pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, dan kota sesuai dengan kategori jalan masing-masing.
Tewasnya Cahyono, selain takdir Illahi, hal itu menunjukkan bahwa norma hukum yang mewajibkan penyelenggara jalan untuk membenahi jalan yang rusak masih memprihatinkan dalam tataran implementasi. Penyelenggara jalan Ajibarang-Bumiayu tidak melakukan kewajiban hukumnya: memperbaiki jalan yang rusak. Karenanya, penegak hukum tak saja harus mengusut sopir kendaraan lain yang terlibat dalam kasus itu namun juga perlu mengusut serta membawa keadilan pihak penyelenggara jalan yang ’’mengakibatkan’’ kecelakaan.
Kasus kecelakaan itu sudah seharusnya dijadikan bahan refleksi bagi pemerintah dalam segenap levelnya untuk lebih sungguh-sungguh lagi membenahi jalan raya agar ia tidak menjadi pemangsa yang setiap saat bisa merampas nyawa manusia.
Pembiaran jalan berlubang penyebab sederet malapetaka sesungguhnya adalah pembiaran terhadap terampasnya nyawa manusia, suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang serius.
Sudah saatnya berbagai klausul UU LLAJ yang mengandung sanksi itu ditegakkan. Tidak saja terhadap masyarakat melalui berbagai razia SIM dan STNK tapi juga terhadap pemerintah sebagai subjek dalam regulasi itu. Penegakan hukum yang tak pandang bulu dan komprehensif atas perangkat hukum tersebut akan menciptakan rasa keadilan sekaligus mewujudkan asas persamaan di muka hukum dalam berlalu lintas. (10)
Penyebab kecelakaan seperti itu yang menelan korban jiwa bukan kali pertama terjadi di negeri ini. Begitu banyak jalan berlubang yang tak terurus yang siap memangsa pengguna jalan raya, baik secaca langsung maupun tidak langsung seperti kejadian tersebut.
Dalam kehidupan bernegara yang beradab, adalah tanggung jawab negara untuk melindungi hak hidup (right to life) tiap individu yang ada dalam yurisdiksinya. Filosofi yang melandasi argumen tersebut adalah karena kebutuhan untuk terlindungi dari segala macam hal yang dapat merampas hak dan kebebasan dasarnya itulah manusia bersepakat memasuki kehidupan bernegara.
Diyakini, kehidupan bernegara akan lebih aman serta menjamin hak dan kebebasan manusia daripada kehidupan dalam keadaan alam (state of nature), yaitu yang kuat menguasai yang lemah dalam hubungan yang represif-eksploitatif bercorak hommo homini lupus.
Hak hidup sebagai salah satu hak yang dijamin dalam paham negara hukum (rule of law) tidak saja bersangkut-paut dengan isu hukuman mati dan perampasan nyawa secara sewenang-wenang. Pengurangan angka kematian bayi dan ibu melahirkan adalah salah satu interpretasi terhadap pemenuhan hak hidup.
Perlindungan terhadap hak hidup yang paling universal di antaranya adalah dengan mengkriminalisasi perampasan nyawa, sebagaimana juga dianut oleh KUHP. Singkatnya, negara wajib melakukan langkah-langkah legislasi agar hak yang terbilang sebagai hak yang tak dapat dikurangi (non-derogable rights) dapat terlindungi secara maksimal.
Dalam konteks jalan rusak dan berlubang sebagaimana menjadi penyebab tewasnya pengendara motor tersebut, negara ini sesungguhnya memiliki instrumen hukum yang mengaturnya. Pasal 24 UU Nomor 29 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (UU LLAJ) mewajibkan penyelenggara jalan untuk segera memperbaiki jalan yang rusak.
Lalai Kewajiban Sanksi penjara dan denda sebagaimana tertuang pada Pasal 273 UU itu, mengancam penyelenggara jalan yang akibat kegagalannya memenuhi kewajiban hukum memperbaiki jalan mengakibatkan kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa, luka ringan atau berat, dan kerusakan kerusakan kendaraan. Dikaitkan dengan UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan maka tanggung jawab pemeliharaan jalan terletak pada pundak pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, dan kota sesuai dengan kategori jalan masing-masing.
Tewasnya Cahyono, selain takdir Illahi, hal itu menunjukkan bahwa norma hukum yang mewajibkan penyelenggara jalan untuk membenahi jalan yang rusak masih memprihatinkan dalam tataran implementasi. Penyelenggara jalan Ajibarang-Bumiayu tidak melakukan kewajiban hukumnya: memperbaiki jalan yang rusak. Karenanya, penegak hukum tak saja harus mengusut sopir kendaraan lain yang terlibat dalam kasus itu namun juga perlu mengusut serta membawa keadilan pihak penyelenggara jalan yang ’’mengakibatkan’’ kecelakaan.
Kasus kecelakaan itu sudah seharusnya dijadikan bahan refleksi bagi pemerintah dalam segenap levelnya untuk lebih sungguh-sungguh lagi membenahi jalan raya agar ia tidak menjadi pemangsa yang setiap saat bisa merampas nyawa manusia.
Pembiaran jalan berlubang penyebab sederet malapetaka sesungguhnya adalah pembiaran terhadap terampasnya nyawa manusia, suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang serius.
Sudah saatnya berbagai klausul UU LLAJ yang mengandung sanksi itu ditegakkan. Tidak saja terhadap masyarakat melalui berbagai razia SIM dan STNK tapi juga terhadap pemerintah sebagai subjek dalam regulasi itu. Penegakan hukum yang tak pandang bulu dan komprehensif atas perangkat hukum tersebut akan menciptakan rasa keadilan sekaligus mewujudkan asas persamaan di muka hukum dalam berlalu lintas. (10)
*Manunggal K Wardaya SH LLM, dosen Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto, alumnus Monash University Australia dan International Institute of Social Studies Belanda