Apriyani, boleh dikata adalah pribadi yang paling apes
di tanah air dalam pekan-pekan terakhir ini. Akibat kelalaiannya,
sembilan dari tigabelas pejalan kaki yang ditabraknya tewas mengenaskan.
Kisah duka pun beragam, memancing emosi warga bangsa. Masing-masing
korban memiliki kepiluannya sendiri. Nasi sudah menjadi ketupat, yang
telah tiada takkan kembali, walau berjuta maaf dilontarkan, walau
berjuta serapah masyarakat Indonesia ditujukan padanya melalui berbagai
moda termasuk di dunia maya. Tulisan ini adalah renungan seputar
tragedi yang terjadi di Tugu Tani, Jakarta Pusat tersebut dari sudut
hukum dan sosial.
Mabuk, dalam pengaruh ekstasi yang
dicampur minuman keras, demikian antara lain kesimpulan sementara tim
terpadu yang terdiri dari Dinas Pekerjaan Umum, Dinas LLAJ, PT Astra,
Jasa Raharja, Tim Puslabfor Mabes Polri, Ditlantas Polda Metro Jaya, dan
Koorlantas Mabes Polri, menjelaskan terjadinya peristiwa tersebut.
Kondisi mabuk dan kelelahan akibat begadang menjadikannya kehilangan
kendali diri manakala mengemudi yang berujung pada peristiwa maut
tersebut. Tak berapa lama setelah peristiwa itu terjadi Apriyani
diketahui tak menunjukkan raut muka menyesal. Bukan karena ia memang
berdarah dingin, akan tetapi karena pengaruh narkoba yang merasuk ke
dalam urat syarafnya lebih menguasai. Apriyani manusia normal, air mata
penyesalan pula mengucur dari matanya, bukan karena ia terlambat
menyadari, akan tetapi karena pengaruh narkoba memang perlu beberapa
saat untuk menghilang.
Apakah keadaan tak sadar sehingga
mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain dalam kasus tersebut menjadi
alasan pemaaf dalam hukum? Tidak. Ia dianggap mengetahui kemungkinan
yang akan terjadi jika mengemudi dalam keadaan mabuk dan lelah.
Hilangnya kendali atas kendarasan dan terampasnya keselamatan orang lain
dianggap sesuatu yang seharusnya dapat diperhitungkan olehnya dan oleh
karenanya seharusnya mencegahnya dari berbuat sesuatu (yakni mengemudi).
Kesalahanan dan pertanggungjawaban hukum pidananya bahkan bisa jadi
akan bertumpuk jika terbukti mengkonsumsi narkoba secara tidak sah,
sesuatu perbuatan yang tak perlu didiskusikan lagi adalah prohibited
dalam hukum Indonesia. Ia bukan pribadi yang jahat sebagaimana diyakini
oleh lingkungannya, akan tetapi bahwa ia tetap mengemudi dalam keadaan
demikian, adalah hal yang punishable dalam hukum pidana.
Sukar dipercaya, terutama oleh keluarga
dan kalangan dekatnya bahwa Apriyani mengakibatkan tragedi yang
menggemparkan negeri ini karena mengkonsumsi narkoba. Sebagaimana
diberitakan, perempuan 29 tahun tersebut dikenal sebagai insan yang
ramah dan santun. Akan tetapi sebenarnyalah apa yang diperbuat Apriyani
bukan sesuatu yang baru lagi aneh. Bahwa seseorang terlihat baik-baik
saja dalam kehidupan kesehariannya bisa jadi disebabkan dominasi dalam
lingkungan di sekitarnya. Ia bertindak sesuai dengan ekspektasi
lingkungan, karena kontrol lingkungan lebih besar dari kehendaknya
sendiri. Akan tetapi dalam atmosfir lain, di lingkungan pergaulannya,
derajat dominasi bisa jadi meredup.. Maka ia menunjukkan hal yang
seadanya dari dirinya: Apriyani sang drug user.
Salahkah Apriyani karena mengkonsumsi
narkoba? Jika pertanyaan ini diajukan pada ahli hukum, jawabanya sudah
pasti akan sampai pada konklusi bahwa Apriyani bersalah karena
kelalaiannya mengakibatkan terampasnya nyawa orang lain. Dari sudut
pandang yang lebih kritikal Apriyani bahkan bisa didakwa dengan tuduhan
sengaja menghilangkan nyawa orang lain. Mengapa? Karena ia
dikonstruksikan hukum mengetahui adanya kemungkinan terjadinya
kecelakaan tersebut manakala ia hendak mengemudi mobil tersebut. Hukum
mengasumsikan demikian karena Apriyani adalah orang sehat baik jasmani
dan rohaninya, sehingga pertanggungjawaban pidana layak dibebankan
padanya.
Namun begitu, melihat kasus ini secara
lebih luas, biang permasalahan sebenarnyalah bukan terletak pada
Apriyani semata. Adalah pula aparat hukum yang gagal melindungi warga
negaranya, yang bernama Apriyani, untuk lepas dari cengkraman narkoba.
Betapa tidak? Narkoba begitu mudahnya diperoleh di Jakarta dan banyak
kota kecil maupun besar di Indonesia, seolah asal ada dana maka bisa
dibeli dan dikonsumsi di mana saja. Bukan sekali dua kita mendengar
bahkan bisnis narkoba dikendalikan dari dalam tembok penjara, serta
berbagai kabar mengenai susut atau lenyapnya barang bukti narkoba.
Kemana ‘hilangnya’ barang laknat itu semua selama ini jika tak kembali
pada pusaran bisnis narkoba? Pada titik inilah Apriyani sebenarnya
lebih tepat dibilangkan sebagai korban,korban dari penegakan hukum yang
lemah terhadap drugs dealer. Pengadilan, tulisan ini meyakini,
mestilah pula memperhatikan aspek ini dalam menjatuhkan pidana
terhadapnya jika ia memang terbukti bersalah.
Manunggal K. Wardaya SH LLM, dosen Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto