”Bekerjalah seperti kura-kura dan tidak seperti kelinci”, demikian satu dari 14 prinsip-prinsip inti ”The Toyota Way”.
Mula-mula agak sulit memahami, apa hubungannya kura-kura dan kelinci dengan Toyota Production System (TPS) yang telah berhasil menghantar Toyota menjadi sebuah perusahaan manufaktur otomotif papan atas, baik dari sisi bisnis maupun kualitas.
Saat mencoba mencerna penjelasannya, ingatan saya kembali pada sebuah buku cerita kanak-kanak bergambar. Isinya sangat sederhana, kisah adu lari antara kelinci dan kura-kura. Yang membuat buku itu menarik, sekaligus ’bernilai’ adalah karena sang pemenang adalah kura-kura, bukan kelinci sebagaimana wajarnya.
Mula-mula agak sulit memahami, apa hubungannya kura-kura dan kelinci dengan Toyota Production System (TPS) yang telah berhasil menghantar Toyota menjadi sebuah perusahaan manufaktur otomotif papan atas, baik dari sisi bisnis maupun kualitas.
Saat mencoba mencerna penjelasannya, ingatan saya kembali pada sebuah buku cerita kanak-kanak bergambar. Isinya sangat sederhana, kisah adu lari antara kelinci dan kura-kura. Yang membuat buku itu menarik, sekaligus ’bernilai’ adalah karena sang pemenang adalah kura-kura, bukan kelinci sebagaimana wajarnya.
Di dalam bukunya, Taichi Ohno, salah seorang kontributor cetak biru atau ”DNA” dari the Toyota Way menjelaskan: ”Kura-kura yang lamban tetapi konsisten mengakibatkan lebih sedikit pemborosan dan jauh lebih diinginkan daripada kelinci yang cepat dan mengungguli perlombaan dan kemudian berhenti setelah selang beberapa waktu untuk beristirahat. Toyota Production System hanya dapat direalisasikan jika semua karyawan menjadi kura-kura”.
Pemimpin-pemimpin Toyota lainnya sering pula mengungkapkan hal yang sama, yang isinya kira-kira adalah ”Kami lebih suka lambat dan mantap seperti kura-kura daripada cepat dan tersentak-sentak seperti kelinci”. Demikianlah salah satu filosofi di balik TPS yang kebanyakan berjangkauan jauh ke depan. Meratakan beban kerja (heijunka) adalah salah satu cara untuk menghindari pemborosan (muda), ketidakseimbangan (mura), dan beban berlebih (muri).
Bagi umat Islam, filosofi di atas bukanlah hal yang terlalu baru. Di dalam pandangan Islam, setiap peristiwa atau kejadian bukanlah suatu momentum diskrit tanpa konteks, tetapi adalah bagian dari sebuah kesinambungan hidup dan kehidupan, penghubung masa lalu dan masa depan. Oleh karena itu, hanya orang-orang cerdas (ulil albab) -lah yang dapat memaknai setiap peristiwa dan mengambil pelajaran darinya untuk terus menerus melakukan perbaikan atau peningkatan (continuous improvement = kaizen).
Di dalam beramal (bekerja atau beribadah dalam arti luas), Rasulullah SAW berabad-abad lalu pernah mengajarkan, ”Amal yang paling disukai oleh Allah adalah amal yang dikerjakan terus menerus walaupun sedikit (HR Muttafaqun Alaih)”. Karena lebih sering mendengarnya dari para kiai, ustadz atau guru agama, maka pikiran kita cenderung membatasinya. Padahal ada hikmah lain dari sabda Rasul SAW (yang pasti berasal dari wahyu, bukan hawa nafsunya). Satu di antaranya ditemukan oleh para pendiri dan pemimpin Toyota, yang mungkin belum pernah mengenal Rasulullah SAW apalagi berjumpa dengannya. Wallahu’a’lam
Abi Muhammad Ismail Halim dalam republika.co.id