"PRAKATA REDAKSI"

Salam Alumnus,

Selamat Tahun Baru 2015

VIVA UNSOED





"Mau Mendengarkan" By Kang Tani

Aku ingat pernah diajar seorang professor yang sangat unik, keunikannya menurut beberapa teman karena tidak tergambar kuatnya kearifannya dan kematangan yang umum melekat pada seorang guru besar yang tidak mudah mencapainya. Profesor ini suka dan banyak bicara, kalau sudah bicara sangat susah untuk disela. Pada setiap pembicaraan dia akan terlihat mendominasi, sangat nampak bahwa sang professor ini merasa dialah yang paling tahu dan orang lain seakan-akan dianggap di bawah kapasitasnya.


Ketika sedang mengajar di kelas, semua mahasiswa harus mendengarkan dan perhatian tidak boleh ada aktivitas lain kalau tidak mau kena marahnya, termasuk menyela bicaranya dengan pertanyaan walau dengan sopan. Sehingga mahasiswa menjadi jarang bertanya walau kadang sesekali diberi kesempatan. Sehingga praktis selama proses kuliah yang terjadi cenderung komunikasi satu arah. Padahal mahasiswa S3 kebanyakan sudah berumur dan bahkan ada yang cuma selisih beberapa tahun dibanding umur sang professor, seolah-olah semua disamakan dengan mahasiswa es satu.

Keunikan sang professor itu oleh teman-teman dianggap sebagai bawaan genetis sehingga akibatnya susah berubah, sikapnya sangat dominan, walau sesungguhnya ‘sikap’ itu sudah tidak njamani di era demokrasi seperti sekarang ini. Kritik dan saran telah banyak dilontarkan termasuk koreksi dari teman se jawatnya di senat universitas, tetapi tetap saja keunikan itu terus menyertainya. Padahal professor ini sudah sering ‘kecelik’ dengan keunikannya sendiri, sebagai contoh yang sering terjadi ketika ia memberi kesempatan bertanya mahasiswanya, ketika mahasiswa bertanya sering sang professor memotong pertanyaan mahasiswa dengan ungkapan: ‘ ya….ya…, saya sudah tahu maksud pertanyaan saudara,’. Tetapi tidak sedikit setelah beliau menjawab panjang lebar, beberapa mahasiswa yang berani dan jujur akan mengatakan bahwa maksud yang dipertanyakan tidaklah demikian. Kejadian tersebut konon sering berulang tetapi tidak pernah jadi pembelajaran. Memang gelar keprofesoran kadang bisa menjadi boomerang bagi yang menyandangnya, bukan menjadi seperti ilmu padi tapi malah menumbuhkan ego dan kesombongan yang tinggi.

Padahal kata guru spiritualku, sesungguhnya seorang guru apalagi maha guru atau siapapun mereka yang bekerja dengan banyak bicara, pengendali dan pemimpin maka sesungguhnya dituntut pula memiliki kemampuan untuk tekun dan mau mendengarkan. Kalau tidak mampu mendengarkan maka pasti ia akan miskin informasi dan buta situasi, pada kondisi ini mana mungkin bisa bicara tentang hal kekinian, hal yang banyak dibutuhkan orang, bagaimana mungkin bicaranya layak untuk didengarkan, bisa bicara tepat sasaran, omongannya memberi manfaat pada orang lain, up to date, dan terkoreksi oleh masyarakat sekitarnya. Mendengarkan adalah hal penting yang harus dimiliki semua orang dalam membangun komunikasi sosial, agar ia juga layak didengarkan ketika sedang bicara.

Ketika seseorang mau dan tekun mendengarkan sesungguhnya ia tengah belajar banyak hal, belajar sabar, toleransi, partisipasi, saling harga menghargai, dan berbagi peran. Tidak itu saja mendengarkan orang berbicara, sesungguhnya kita juga sedang belajar memahami cara perpikir orang, belajar pengalaman orang lain, juga belajar apa yang diketahui orang tersebut. Tentu apa yang dibicarakan orang lain tersebut ada yang enak dan mudah diterima tetapi ada pula yang sulit dimengerti dan bisa pula salah besar menurut kita. Selama kita mendengarkan dalam diri kita terjadi picuan berpikir, ada perdebatan internal, ada kesepahaman dan ketidaksepahaman, ada desakan emosi dan perasaan, ada kompromi persepsi dan jalan keluar.

Jangan salah, mendengarkan adalah sebuah aktivitas besar, walau terlihat diam tetapi sesungguhnya di dalamnya terjadi rentetan proses yang tidak sederhana. Kata guru lakuku, bahwa ketika kita mau belajar mendengarkan, sesungguhnya kita tengah belajar melakukan hal besar dalam hidup. Ketika kita sedang konsentrasi mendengar, tidak saja telinga yang bekerja tetapi indra lain kita juga bekerja, otak dan pikiran kita juga bekerja bahkan hati kita juga tergerakkan. Melalui laku mendengarkan akan terjadi proses-proses: pengarahan perhatian dan konsentrasi , penyerapan informasi dan situasi, menghidupkan logika dan persepsi, menstimulasi analisis dan perancangan, mengendalikan emosi, perasaan dan naluri, melahirkan sikap kritis dan kreatif, memupuk kecerdasan dan kemampuan berpikir, menjadikan kita pandai dan arif.

Hal terpenting ketika kita terbiasa mau mendengarkan, secara bertahap pikiran kita dan perasaan kita memiliki tambahan perbendaharaan, ‘peta’ yang lebih baik tentang hal yang baru didengarkan. Setidaknya selama mendengarkan pikiran kita telah ‘menjelajahi masalah yang dibicarakan’ dan sekaligus mengeksplorasi dan komparasi dengan apa yang ada dalam memori kita sebelumnya. Yang bagus ketika kemudian muncul pandangan-pandangan alternative, langkah alternative, pendekatan alternative, nilai-nilai alternative, dan seterusnya. Dalam hidup, terutama dalam bisnis seringkali ‘hal alternatif’ yang muncul dari kita yang setia mendengarkan omongan orang lain menjadi sesuatu yang lebih bernilai, bisa menjadi lebih besar, lebih prospektif dari yang diomongkan orang tersebut dan memberi keuntungan yang lebih besar buat kita. Pada sisi lain mau mendengarkan juga bisa menjadi dewa penolong musibah yang semestinya bisa menimpa kita. Nah, mari kita belajar sabar untuk mau mendengarkan, untuk kebersamaan dan hidup lebih baik.

Form Sumbangan Artikel, Konsultasi, Kritik & Saran Anda


Nama
Email
Judul
Artikel/Uraian
Image Verification
captcha
Masukkan Kode di Sebelah Ini:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]