Mulai hari Rabu tanggal 8 September 2010 M atau 28 Ramadhan 1431 H, telepon selulerku mulai dibanjiri sms ucapan hari Raya Idhul Fitri yang dibarengi ucapan permintaan ‘maaf lahir batin’. Mereka para sahabat, teman sejawat, mahasiswa, mungkin tidak mau ketinggalan menyampaikan sebelum hari H Idhul Fitri yang jatuh hari Jum’at tanggal 10 September 2010, dan itu menurut saya tidak ada salahnya karena dalam ucapan mereka juga ada kata-kata ‘menjelang kumandang suara takbir’ atau ‘menjelang hari fitri’ baru diikuti ucapan lainnya. Bisa jadi mereka memiliki banyak yang harus dikirimi ucapan sehingga perlu memulainya lebih awal. Ucapan itu makin bertambah jumlahnya malam hari ketika kumandang gema takbir terdengar di mana-mana, keesokan harinya ketika hari lebaran, lalu berkurang setelah itu. Saya yakin di telepon seluler anda juga demikian, pun demikian terjadi di berbagai fitur internet seperti facebook, twitter, ym, semua bicara ucapan selamat hari lebaran dan permintaan maaf.
Semua orang bicara ‘maaf lahir batin’, tidak mengenal umur mulai anak-anak, orang dewasa maupun orang tua, tidak kenal waktu terucapkan sepanjang 24 jam, terjadi di mana-mana baik di rumah, di masjid, di lapangan, di pasar, di desa, di kota dan tempat-tempat lainnya. Kalau kita bayangkan, kata ‘maaf’ ada di mana-mana, seperti ‘lautan maaf’. Kata- kata itu menjadi kata yang ringan untuk diucapkan, semua orang dengan tulus dan penuh senyum menyampaikan itu, baik pada saudara dekat maupun pada orang-orang yang terbilang tetangga jauh. Tidak seringan hari biasanya untuk mengakui kesalahan dan menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan dan kelalaian itu.
Kata ‘maaf’ menjadi seperti penyempurna kegiatan ibadah puasa yang telah dilakukan selama satu bulan penuh. Dengan ucapan itu seolah-olah beban berat yang mengganjal di hati kita menjadi berkurang banyak, rasa salah dan berdosa kepada orang tua, keluarga, tetangga, teman, serta handai taulan lainnya sepertinya menjadi ‘kosong-kosong’ atau impas atau diumpamakan kertas kotor menjadi lembaran kertas yang putih bersih kembali. Lautan ‘maaf’ memiliki implikasi melahirkan hubungan baru yang lebih baik, cair, meredam gelombang amarah, kebencian, di mana-mana orang-orang mencoba membangun kembali persaudaraan, mempererat tali silahturahmi.
Ungkapan maafpun menjadi beragam, kreatif, sering mampu menyentuh rasa hingga kita ‘bungah’, tersenyum, kagum, salut, bahkan sampai ketawa karena lucunya. Tidak jarang ucapan itu kemudian dipakai oleh kita untuk mengucapkan ‘selamat idhul fitri’ kepada orang lain, demikian seterusnya terjadi efek bergulir atau evek ‘bola salju’ kalau ucapan itu menyentuh hati. Sehingga tak jarang dengan cepat seperti penyebaran virus ucapan itu mengganda terkirim ke mana-mana. Bagi yang kreatif, tidak pernah ada yang menuntut ucapannya ‘diplagiasi’, mereka mungkin malah senang-senang saja bahkan terpicu untuk membuat ucapan yang lebih bagus di tahun berikutnya. Bagi yang malas dan tidak bisa membuat ucapan yang ‘beraroma seni’ bisa browsing di internet, tinggal ketik ucapan lebaran, maka akan tersedia berbagai ucapan pilihan yang mungkin bisa cocok.
Kata maaf yang kita ucapkan dengan tulus dan ikhlas adalah obat nurani, obat batin yang mujarab untuk mengobati rasa amarah, dengki, iri, cemburu, salah, yang mengotori hati kita. Dengan demikian pasca terjadinya lautan maaf, terjadinya kebanyakan orang saling mengucapkan maaf, saling berjabat tangan tanpa paksaan. Terbayang harapan ‘kehidupan’ pasca puasa yang lebih baik karena amarah, dengki, iri, cemburu, salah menjadi sirna atau setidaknya berkurang banyak. Lautan maaf harus mampu melahirkan kesejukan seperti sejuk yang diakibatkan oleh angin laut, harus mampu memberi kebahagiaan dan kegembiraan seperti cerianya para nelayan yang membawa ikan setelah melaut, harus mampu memberi kegigihan hidup seperti kegigihan ombak memecah karang yang kukuh.
Setelah kita menjalankan puasa, lalu bertakbir, tasmid dan tahlil mengagungkan nama Allah lalu keesokan di hari fitri saling memaafkan sesama, hingga di mana-mana terdengar kata maaf diucapkan maka tantangan kita ke depan adalah bagaimana bisa ‘berubah’, bisa hijrah ke hal yang lebih baik, misalnya menjadi lebih kuat, bukan menjadi kasar; menjadi baik, bukan pura-pura baik; menjadi berani, bukan menjadi penggertak; menjadi rajin berpikir, bukan pemalas; menjadi rendah hati, tapi bukan penakut; menjadi bangga, tapi bukan menjadi sombong; mempunyai rasa humor, tapi tanpa kebodohan dan kekonyolan. Kita yang bisa saling memaafkan adalah pemenang dan telah terbukti kuat. Kata Gandhi ‘orang lemah tidak pernah memaafkan, memaafkan adalah sifat orang kuat’. Guru laku yang lain mengatakan ‘ memaafkan adalah pembalasan dendam paling manis’.