Judul di atas, kita sudah ma’fum dan mengetahui dari cerita turun temurun yang disampaikan orang tua kita, atau cerita legenda, ataupun dari manapun cerita legenda ini kita dengar. Yang pasti satu kesimpulan bahwa seorang perempuan yang bernama Jonggrang telah berhasil memperdayai seorang laki-laki yang bernama Bandung Bondowoso. Namun ternyata dibalik cerita tersebut ternyata ada pesan mengenai; perjuangan, kemenangan, kekalahan, harga diri, kesetiaan serta cinta.
Berikut saya coba sampaikan ikhtisar ceritanya, yang disarikan dari tulisan majalah tempo, moga makna cerita ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya.
Alkisah pada jaman dahulu, pada Jawa kuno terdapat cerita tentang seorang ksatria sakti bernama Bandung Bondowoso yang jatuh hati pada seorang puteri. Karena puteri tersebut tidak mencintai Bandung Bondowoso, sedang untuk menolak secara terang-terangan sang puteri merasa takut karena Bandung Bondowoso ini terkenal sangat sakti, maka untuk mengelabuhi si Bandung Bondowoso sang puteri membuat persayaratan-persyaratan.
Hal mana syarat tersebut secara nalar sehat adalah tidak masuk akal, syarat tersebut adalah lamaran Bandung Bondowoso akan diterima apabila ia sanggup membuat seribu candi dalam waktu satu malam. Candi tersebut harus sudah selesai sebelum ada ayam jantan berkokok atau sebelum fajar menyingsing.
Karena perasaan cinta Bandung kepada Roro Jonggrang melebihi segalanya di dunia ini, maka mulailah ia menuruti persyaratan Sang Roro, dan mulailah Bandung menyusun batu dan menegakkan candi, beratus-ratus, sampai lewat tengah malam. Aneh, ia tak merasa lelah, tapi tiba-tiba ia dengar suara-suara pagi datang dari jauh.
Ia tak melihat warna fajar, tapi ia tahu ia telah gagal. Ia tak berhasil menyelesaikan 1.000 bangunan dalam waktu yang ditentukan.
Legenda Loro Jonggrang tersebut yang menjelaskan asal-usul himpunan candi yang mempesona di Prambanan itu—memang sebuah cerita “kegagalan”.
SYAHDAN KISAHNYA adalah sebagai berikut :
Bandung Bondowoso yang menang perang berhasrat memperistrikan Jonggrang, putri mendiang Raja Baka yang telah dibunuhnya. Gadis Jonggrang itu sangat ketakutan. Kerajaan ayahnya telah jatuh ke tangan kekuasaan Pengging—dan itu berarti ia bukan lagi orang yang “merdeka”. Dan tak mungkin ia menampik kehendak seorang lelaki yang kini dipertuan.
Dalam kegundahan hatinya, ia menemukan ide untuk menjawab pinangan dan dapat melepaskan dari ikatan Bandung Bondowoso. Maka Gadis Jonggrang mengajukan syarat: ia akan mau menerima pinangan pendekar itu bila dalam satu malam Bandung bisa membuat 1.000 candi (Candi Sewu), sungguh tak dinyana dan diduga kalau ternyata Bandung Bondowoso menyetujui persyaratan Roro Jonggrang.
Kesanggupan itu memang mengherankan, tapi di sini agaknya legenda Loro Jonggrang mengandung sebuah pesan lain yang ingin disampaikan, pesannya adalah bahwa tiap kemenangan selalu mengandung kekalahan. Tak ada kemenangan mutlak (absolute) di dunia ini. Di Prambanan maupun di kerajaan yang lainpun, perang tak akan cukup, pembunuhan tak pernah memadai, dan pasti ada kekurangan dalam tiap takhta.
Itu sebabnya kita tak tahu apa arti penaklukan: Loro Jonggrang ternyata bukan bagian dari benda jarahan. Ia merdeka dan berdaulat, bahkan Iapun masih bisa menuntut suatu syarat yang sulit, bahkan sebenarnya mustahil.
Bahwa Bandung Bondowoso, sang pemenang pembela Pengging, menerima syarat itu menunjukkan ada ambivalensi dalam hubungan kedua manusia itu. Lelaki itu berkuasa tapi perempuan itu terlepas dari hubungan memiliki-dan-dimiliki. Bahkan Bandung membiarkan dirinya masuk ke angan-angan Jonggrang. Orang bisa mengatakan bahwa yang diniatkan tumbuh dalam hubungan itu adalah cinta, dan cinta—dengan atau tanpa membaca kalimat Thomas Kempis pada abad ke-15—tak merasakan beban, tak berpikir tentang kesulitan. Cinta bahkan ”mencoba apa yang melebihi kekuatan diri”, dan ”tak minta dimaafkan di hadapan kemustahilan”.
Tapi bukan sikap angkuhkah yang mendorong Bandung menerima syarat itu? Katakanlah ini yang terjadi: sang perkasa yang telah berhasil membinasakan Raja Baka itu merasa malu untuk menyatakan tak sanggup membangun 1.000 candi dalam satu malam. Tapi keangkuhan dan rasa malu mengandung pengakuan bahwa ada orang lain—dan orang lain itu hadir dalam posisi untuk menilai dan menghakimi. Di sini keperkasaan juga menemui batasnya. Bandung Bondowoso tak dapat menafikan yang lain yang tegak di luar itu—yang lain yang memandang ke arahnya.
Saya bayangkan pada sebuah senja ia berkata kepada peminangnya: ”Sebenarnya saya takjub. Tuan tak memperlakukan saya sebagai jarahan perang. Bagaimana ini mungkin?”
”Ada hal yang mustahil yang membuat kita memilih dan berbuat,” jawab Bandung Bondowoso.
”Untuk apa?”Bandung Bondowoso tak menjawab. Ia hanya melipat lengannya dan berjalan kembali ke markas pasukan, melewati deretan panji Pengging yang ditutupi gelap. Sejak ia menemui Loro Jonggrang—dan melihat wajahnya yang ketakutan tapi tak merunduk, mendengar ucapannya yang gemetar tapi fasih—ia tahu ada yang sia-sia dalam tiap kemenangan. Apa yang didapat para Pandawa setelah membinasakan Kurawa dan menguasai Astina dan Amarta? Seluruh generasi kedua keluarga Pandu yang seharusnya melanjutkan dinasti itu tewas di medan perang. Apa yang dicapai Rama setelah merebut Sita kembali? Ia tak yakin perempuan itu, yang bertahun-tahun disekap di Istana Alengka, seorang istri yang belum dinodai.
Kebanggaan diri dan kejayaan—mungkin itulah yang menggerakkan perang. Perang memang mengubah sejarah. Tapi, setelah itu, sejarah mengecoh para pendekar, dan lahir penulis tragedi.
”Jika saya mohon Tuan membangun 1.000 candi di sekitar bukit Prambanan itu, akankah Tuan memenuhinya?” tanya Jonggrang.
”Saya akan gentar. Tapi saya akan membangunnya.””Dalam satu malam?”
”Ada hal yang mustahil yang menyebabkan kita berbuat.”
Seseorang pernah mengatakan, manusia membuat sejarah karena dilecut yang mustahil: kemenangan, kejayaan, keadilan, dan hal-hal lain yang dicita-citakan sebagai alternatif bagi hidup yang tak pernah penuh.
Sebuah wilayah dengan seribu candi yang didirikan dalam satu malam adalah satu dari deretan angan-angan itu. Bahasa mencoba merumuskannya, dan itu sebabnya kata-kata tak sepenuhnya transparan. Tak pernah jelas apa yang sebenarnya ditandai dengan kata ”seribu”. Percakapan sehari-hari, retorika resmi dan nyanyian populer, (”tinggi gunung 1.000 janji”, kata sebuah lagu tahun 1950-an), menyebut angka itu lebih sebagai sebuah kiasan yang hendak mengesankan jumlah yang ”tak terhingga”.
Bandung Bondowoso agaknya tahu akan hal itu: ia harus siap menjangkau yang tak terhingga. Ketika sore mulai merayap, ia berangkat meninggalkan markas, sendiri. Konon di bukit itu para roh halus membantunya mengangkat batu dari Merbabu, menyusun dan memahatnya dengan relief yang menakjubkan.
Waktu pun berjalan, tapi apa yang membatasi ”malam” dengan ”pagi”? Fajar yang merekah, cicit burung di hutan, detakan lesung perempuan tani, atau asap dapur di balik gunuk? Atau sebuah kesadaran akan batas—yang mengingatkan bahwa yang ”tak terbatas” selalu luput?
Tapi siapa yang mengatakan kisah Bandung Bondowoso hanyalah cerita kesia-siaan tak akan memahami bahwa yang terbatas juga punya daya gugah dan mampu menyentuh hati. Ketika ia tahu ia gagal menyelesaikan 1.000 candi—dan gagal pula cintanya kepada Jonggrang—Bandung Bondowoso pergi ke belukar dan memahat sebuah patung. Ia ingin mengenang perempuan itu.
Patung itu: sebuah ikhtiar menggapai yang indah. Ia bukan keindahan itu sendiri, tapi tetap berharga hingga hari ini.Foot Note :
Renungan disarikan dari tulisan Bandung Bondowoso dari Majalah Tempo Edisi. 35/XXXIV/13 – 19 Oktober 2006~