Kita tentunya sering mendengar pertanyaan dari para orangtua, perihal perkembangan anak anak mereka, biasanya yang mereka keluhkan adalah, "…kenapa anak saya jadi sering melawan,…kenapa anak saya susah diatur..." dan masih banyak lagi pertanyaan pertanyaan yang senada.
Pada kesempatan kali ini kita akan mencoba mengupas hal hal yang berhubungan dengan pendidikan anak-anak kita dirumah, yang pada umumnya kita sendiri yang membuat perkembangan anak kita menjadi seorang anak yang kelakuan dan sifatnya jauh berbeda dari apa yang kita harapkan selaku orang tua.
Ada banyak hal yang sering para orang tua lakukan atau kebiasaan kebiasaan yang sering tidak disadari, tapi sangat berpengaruh pada pertumbuhan mental si Anak.
Kita akan kelompokkan kebiasaan kebiasaan itu dalam beberapa kelompok yaitu :
1. Kita selalu membiasakan Anak Menjadi figure yang tak pernah salah!
Dapat kita contohkan kebiasaan para orang tua, bila anak kita sedang berjalan tiba tiba ia menabrak meja dan akibatnya terjatuh dan menangis, maka kita selaku orang tua sering melakukan sesuatu hal yang tujuannya agar tangisan anak segera berhenti, dengan memukul dan memarahi meja yang ditabrak si anak, sambil berkata, “Siapa yang nakal nak?, ini ya meja, ini ibu sudah pukul mejanya, cup…cup… diam ya”, dan biasanya si anak akan segera diam dari tangisnya.
Analisanya : Para orang tua sudah membiasakan si anak menjadi figure yang tak pernah salah, dan ini akan menciptakan pemikiran yang terekam didalam benak si anak dan terus terbawa hingga ia dewasa, akibatnya bila setiap ia mengalami sesuatu peristiwa dan terjadi sesuatu kekeliruan, maka yang keliru atau salah adalah orang lain atau pihak lain dan dirinya selalu benar.
Kadang kita selaku orang tua baru menyadari akan hal tersebut, bila si anak mulai melawan kepada kita, karena sejak kecil tanpa disadari kita telah mengajarinya untuk tidak pernah merasa bersalah.
Apa yang sebaiknya kita lakukan ketika si anak baru belajar berjalan dan menabrak sesuatu sehingga membuatnya menangis ?
Sebaiknya kita lakukan adalah ajarilah si anak untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi, katakana kepadanya ( sambil mengusap bagian yang menurutnya terasa sakit ), “Sayang, kamu terbentur meja ya, sakit ya ? lain kali hati hati ya sayang, jalannya pelan pelan saja dulu, supaya tidak menabrak meja lagi”.
2. Kita sering melakukan kebohongan kecil
Pada awalnya anak anak kita selalu mendengarkan apa apa yang dikatakan oleh orang tuanya. Mengapa ?, karena mereka sepenuhnya percaya pada orang tuanya.
Namun, ketika anak kita beranjak besar, ia mulai tidak menuruti perkataan orang tuanya atau permintaan orang tuanya. Apa yang terjadi ?, Apakah anak kita sudah tidak percaya lagi kepada perkataan atau ucapan ucapan kita ?
Tanpa disadari, kita selaku orang tua sering melakukan kebohongan kebohongan kecil setiap harinya. Salah satu contoh, saat seorang ayah ingin berangkat ke kantor dan si anak menangis ingin ikut, maka si ayah berkata,” Sayang, ayah hanya pergi kedepan saja ya, sebentaaaar ya, sayang…, adik sama ibu dulu dirumah”. Tapi kenyataannya sang ayah pulangnya hingga malam.
Analisanya : Dari contoh diatas, jika kita berbohong ringan atau sering disebut ‘bohong kecil’, tapi dampaknya ternyata sangat besar pada pertumbuhan mental si anak, maka si anak akan tidak percaya lagi kepada kita sebagai orang tuanya, si anak tidak bisa membedakan pernyataan kita bisa dipercaya atau tidak, akibat lanjutnya si anak menganggap semua yang diucapkan oleh orang tuanya adalah bohong, dan sejak saat itu si anak akan menetapkan bahwa pernyataan orang tuanya itu selalu bohong, dan si anak mulai tidak menuruti segala perkataan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan ?
Berkatalah dengan jujur kepada si anak, ungkapkan dengan penuh kasih sayang dan memberikan sebuah pengertian : “Sayang, ayah akan pergi ke kantor dulu ya, adik tidak bisa ikut, tapi kalau ayah pergi ke taman, adik boleh ikut”.
Kita tidak perlu merasa kuatir dan menjadi terburu buru dengan keadaan ini, pastinya akan membutuhkan waktu lebih untuk memberikan pengertian kepada si anak, karena biasanya si anak akan menangis. Si anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa sang ayah harus selalu pergi di pagi hari. Kita harus perlu sabar dan lakukan pengertian kepada si anak secara terus menerus, perlahan si anak akan memahami mengapa sang ayah selalu pergi di pagi hari. Sebaliknya bila sang ayah pergi ke tempat lain selain ke kantor, maka si anak pasti dibawa, dengan melakukan kejujuran ini dalam setiap perkataan kita, maka si anak akan mampu memahami apa yang kita katakan dan akan menuruti dengan apa yang kita katakan.
3. Kita selalu sering mengancam
Tanpa kita sadari kita sering melakukan sebuah ancaman ancaman kecil pada si anak, sebagai contoh, “Adik jangan nakal ya…, kalau adik nakal ibu tidak akan mebawa adik pergi tamasya, adik dirumah saja dengan bibi !”.
Analisanya : Seorang anak adalah mahluk yang sangat pandai dalam mempelajari pola pengasuhan orang tuanya, ia tidak hanya bisa mengetahui pola orang tuanya mendidik, tapi dapat menganalisa dan malah bisa membelokkan atau mengendalikan pola asuhan orang tuanya, Hal ini terjadi bila kita sering menggunakan ancaman ancaman dengan kata kata, namun setelah itu tidak ada tindak lanjutnya atau mungkin kita sudah lupa dengan ancaman tersebut yang pernah kita ucapkan.
Apa yang sebaiknya kita lakukan ?
Ancaman tidak menyelesaikan masalah nakalnya anak kita, sebaiknya kita memberikan nasehat yang mudah diterima oleh pikiran mereka, seperti contoh,”Adik, jangan nakal ya sayang, kalau adik nakal adik jadi tidak ganteng lagi, dan nanti adik jadi tidak punya teman, mau nggak adik kalau bermain tidak punya teman, kan tidak enak kalau adik bermain sendirian”.
Pada kesempatan kali ini kita akan mencoba mengupas hal hal yang berhubungan dengan pendidikan anak-anak kita dirumah, yang pada umumnya kita sendiri yang membuat perkembangan anak kita menjadi seorang anak yang kelakuan dan sifatnya jauh berbeda dari apa yang kita harapkan selaku orang tua.
Ada banyak hal yang sering para orang tua lakukan atau kebiasaan kebiasaan yang sering tidak disadari, tapi sangat berpengaruh pada pertumbuhan mental si Anak.
Kita akan kelompokkan kebiasaan kebiasaan itu dalam beberapa kelompok yaitu :
1. Kita selalu membiasakan Anak Menjadi figure yang tak pernah salah!
Dapat kita contohkan kebiasaan para orang tua, bila anak kita sedang berjalan tiba tiba ia menabrak meja dan akibatnya terjatuh dan menangis, maka kita selaku orang tua sering melakukan sesuatu hal yang tujuannya agar tangisan anak segera berhenti, dengan memukul dan memarahi meja yang ditabrak si anak, sambil berkata, “Siapa yang nakal nak?, ini ya meja, ini ibu sudah pukul mejanya, cup…cup… diam ya”, dan biasanya si anak akan segera diam dari tangisnya.
Analisanya : Para orang tua sudah membiasakan si anak menjadi figure yang tak pernah salah, dan ini akan menciptakan pemikiran yang terekam didalam benak si anak dan terus terbawa hingga ia dewasa, akibatnya bila setiap ia mengalami sesuatu peristiwa dan terjadi sesuatu kekeliruan, maka yang keliru atau salah adalah orang lain atau pihak lain dan dirinya selalu benar.
Kadang kita selaku orang tua baru menyadari akan hal tersebut, bila si anak mulai melawan kepada kita, karena sejak kecil tanpa disadari kita telah mengajarinya untuk tidak pernah merasa bersalah.
Apa yang sebaiknya kita lakukan ketika si anak baru belajar berjalan dan menabrak sesuatu sehingga membuatnya menangis ?
Sebaiknya kita lakukan adalah ajarilah si anak untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi, katakana kepadanya ( sambil mengusap bagian yang menurutnya terasa sakit ), “Sayang, kamu terbentur meja ya, sakit ya ? lain kali hati hati ya sayang, jalannya pelan pelan saja dulu, supaya tidak menabrak meja lagi”.
2. Kita sering melakukan kebohongan kecil
Pada awalnya anak anak kita selalu mendengarkan apa apa yang dikatakan oleh orang tuanya. Mengapa ?, karena mereka sepenuhnya percaya pada orang tuanya.
Namun, ketika anak kita beranjak besar, ia mulai tidak menuruti perkataan orang tuanya atau permintaan orang tuanya. Apa yang terjadi ?, Apakah anak kita sudah tidak percaya lagi kepada perkataan atau ucapan ucapan kita ?
Tanpa disadari, kita selaku orang tua sering melakukan kebohongan kebohongan kecil setiap harinya. Salah satu contoh, saat seorang ayah ingin berangkat ke kantor dan si anak menangis ingin ikut, maka si ayah berkata,” Sayang, ayah hanya pergi kedepan saja ya, sebentaaaar ya, sayang…, adik sama ibu dulu dirumah”. Tapi kenyataannya sang ayah pulangnya hingga malam.
Analisanya : Dari contoh diatas, jika kita berbohong ringan atau sering disebut ‘bohong kecil’, tapi dampaknya ternyata sangat besar pada pertumbuhan mental si anak, maka si anak akan tidak percaya lagi kepada kita sebagai orang tuanya, si anak tidak bisa membedakan pernyataan kita bisa dipercaya atau tidak, akibat lanjutnya si anak menganggap semua yang diucapkan oleh orang tuanya adalah bohong, dan sejak saat itu si anak akan menetapkan bahwa pernyataan orang tuanya itu selalu bohong, dan si anak mulai tidak menuruti segala perkataan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan ?
Berkatalah dengan jujur kepada si anak, ungkapkan dengan penuh kasih sayang dan memberikan sebuah pengertian : “Sayang, ayah akan pergi ke kantor dulu ya, adik tidak bisa ikut, tapi kalau ayah pergi ke taman, adik boleh ikut”.
Kita tidak perlu merasa kuatir dan menjadi terburu buru dengan keadaan ini, pastinya akan membutuhkan waktu lebih untuk memberikan pengertian kepada si anak, karena biasanya si anak akan menangis. Si anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa sang ayah harus selalu pergi di pagi hari. Kita harus perlu sabar dan lakukan pengertian kepada si anak secara terus menerus, perlahan si anak akan memahami mengapa sang ayah selalu pergi di pagi hari. Sebaliknya bila sang ayah pergi ke tempat lain selain ke kantor, maka si anak pasti dibawa, dengan melakukan kejujuran ini dalam setiap perkataan kita, maka si anak akan mampu memahami apa yang kita katakan dan akan menuruti dengan apa yang kita katakan.
3. Kita selalu sering mengancam
Tanpa kita sadari kita sering melakukan sebuah ancaman ancaman kecil pada si anak, sebagai contoh, “Adik jangan nakal ya…, kalau adik nakal ibu tidak akan mebawa adik pergi tamasya, adik dirumah saja dengan bibi !”.
Analisanya : Seorang anak adalah mahluk yang sangat pandai dalam mempelajari pola pengasuhan orang tuanya, ia tidak hanya bisa mengetahui pola orang tuanya mendidik, tapi dapat menganalisa dan malah bisa membelokkan atau mengendalikan pola asuhan orang tuanya, Hal ini terjadi bila kita sering menggunakan ancaman ancaman dengan kata kata, namun setelah itu tidak ada tindak lanjutnya atau mungkin kita sudah lupa dengan ancaman tersebut yang pernah kita ucapkan.
Apa yang sebaiknya kita lakukan ?
Ancaman tidak menyelesaikan masalah nakalnya anak kita, sebaiknya kita memberikan nasehat yang mudah diterima oleh pikiran mereka, seperti contoh,”Adik, jangan nakal ya sayang, kalau adik nakal adik jadi tidak ganteng lagi, dan nanti adik jadi tidak punya teman, mau nggak adik kalau bermain tidak punya teman, kan tidak enak kalau adik bermain sendirian”.
4. Ayah dan Ibu tidak kompak
Mendidik bukan hanya tugas seorang ibu saja, atau ayah saja, namun keduanya. Anak tidak akan pernah menjadi lebih baik, ketika orang tua tidak kompak dan tidak memiliki kata sepakat dalam mendidik anak anaknya.
Anak anak umumnya belum dapat memahami nilai nilai benar dan salah, mereka akan cepat menangkap rasa yang menyenangkan dan rasa tidak menyenangkan bagi dirinya.
Sebagai contoh, bila si anak disuruh tidur karena sudah waktunya tidur malam oleh ibunya, tapi tiba tiba ayahnya membela, sini nak kita nonton TV sama ayah, besokkan hari minggu, jadi adik boleh nonton TV sampai puas. Jika hal ini terjadi si anak akan memilih hal hal yang lebih menyenangkan dirinya, yaitu menonton tivi bersama ayahnya, apa akibatnya ?, si anak akan menilai bahwa ibunya jahat dan menilai ayahnya baik, dan akibat fatalnya, setiap si ibu memberikan perintah, ia akan mulai melawan dengan berlindung dibalik pembelaan ayahnya. Perlahan tapi pasti si anak akan terus melawan pada ibunya. Demikian juga sebaliknya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan ?
Kita selaku orang tua harus selalu kompak, jangan pernah ada dualisme dalam mendidik anak atau melakukan standar ganda. Dihadapan si anak kita jangan pernah berbeda pendapat untuk hal hal yang berhubungan langsung dengan pola mendidik anak, Ingat pada saat salah satu dari kita sedang mendidik anak, maka pasangan kita harus selalu mendukungnya. Apabila ada pandangan yang berbeda dalam mendidik anak, bicarakan hal ini secara pribadi dengan pasangan kita.
Seharusnya yang kita lakukan adalah, saat pasangan kita menyuruh si anak tidur karena waktunya sudah malam, maka kita ikut mendukungnya dengan berkata,” iya… adik sekarang tidur dulu ya, sekarang sudah larut malam, supaya besok bangunnya tidak kesiangan, dan nonton tivinya bisa dilanjutkan esok hari”.
5. Menakut-nakuti si anak
Kebiasaan yang sering dilakukan para orang tua, bila si anak menagis dan berusaha untuk menenangkannya adalah menakut-nakuti, Seperti contoh, “Eh kalau adik menagis terus, nanti disuntik lho sama dokter !”. Atau contoh lain,”Awas ada pak polisi, kalau adik menangis terus nanti ditangkap oleh pak polisi!”.
Analisanya : Kebiasaan menakut-nakuti ini hampir mirip dengan kebiasaan mengancam, memang anak akan cenderung berhenti menangis dan menuruti keinginan kita, namun dengan pernyataan menakut-nakuti dan ancaman seperti itu, sebenarnya kita menanamkan rasa tidak suka atau benci pada pihak yang kita sebutkan, juga kita sebenarnya telah merendahkan diri kita, bahwa kita tidak punya kuasa apa apa untuk melarangnya. Akibatnya anak kita akan tidak suka atau takut dengan figure dokter atau figure pak polisi, yang sebenarnya tindakan ini sangat keliru sekali, karena kita akan sering berhubungan dengan dokter ketika anak kita sakit, akibatnya, bila anak kita sakit betulan, dan saatnya akan membawanya ke dokter, maka si anak akan segera menolaknya dengan berbagai cara.
Apa yang sebaiknya kita lakukan ?
Berkatalah jujur dan berikan pengertian pada si anak, seperti kita memberikan pengertian pada oarng dewasa, karena sesungguhnya anak anak juga mampu berpikir dewasa. Seharusnya yang kita lakukan adalah, Adik jangan menangis terus ya, kalau adik menangis terus nanti suara adik akan hilang, karena tenggorokan adik sakit, kalau tenggorokan adik sakit, adik tidak bisa memakan makanan kesukaan adik”.
6. Selalu memberi hadiah untuk perilaku yang buruk
Sering kali kita selaku orang tua tidak konsisten terhadap anak kita, bila hal ini terjadi, tanpa disadari kita telah mengajarkan anak kita untuk melawan kita. Seperti contoh, saat kita mengajak jalan jalan di sebuah pertokoan, tiba tiba si anak menginginkan mainan yang dilihatnya di toko yang kita lalui, saat itu kita melarangnya, dengan ucapan,” Adik, kan adik sudah punya mainan itu, kenapa harus membelinya lagi ?”. Namun si anak tidak mau mengerti, yang ia inginkan adalah semua keinginannya dikabulkan oleh orang tuanya, maka ia mulai menyusun siasat dengan berbagai cara untuk mendapatkan keinginannya itu, seperti dengan cara merengek terus hingga menangis, bila tidak dituruti maka ia akan menagis dengan suara yang lebih keras lagi, akibatnya kita orang tua menjadi terpojok, dari pada malu dengan orang orang sekitar, maka kita mengucapkan,”Iya iya…beli sana, tapi hanya satu saja ya, yang lain tidak boleh !”.
Analisanya : Inilah yang dimaksud dengan memberikan hadiah untuk perilaku buruk anak kita, akibatnya bila kita membiarkannya terus terjadi, ini akan menjadi senjata buat si anak, setiap saat kita mengajaknya jalan jalan ke pertokoan.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Sebaiknya kita tetap berlaku konsisten terhadap anak kita, tidak perlu malu atau takut dikatakan sebagai orang tua yang ‘tegaan’ atau ‘kikir’, Ingatlah selalu, bahwa kita sedang mendidik anak, sekali kita konsisten, maka si anak tak akan pernah mencobanya lagi.
Sebaiknya kita mengucapkan,”Adik…kan adik sudah punya banyak mainan di rumah, lebih baik uangnya kita tabung saja, kan bisa untuk membeli keperluan adik yang lain, kan sebentar lagi kita lebaran, apa adik tidak mau beli baju lebaran yang baru seperti teman teman adik ?”
Nah inilah sebagian dari kebiasaan kebiasaan para orang tua yang kadang tidak disadari, akan berpengaruh buruk pada perkembangan mental anak anak kita.
Sebenarnya masih banyak ulasan ulasan lain yang berkaitan dengan kebiasaan kebiasaan para orang tua ini dalam mendidik anak anak kita.
Mendidik bukan hanya tugas seorang ibu saja, atau ayah saja, namun keduanya. Anak tidak akan pernah menjadi lebih baik, ketika orang tua tidak kompak dan tidak memiliki kata sepakat dalam mendidik anak anaknya.
Anak anak umumnya belum dapat memahami nilai nilai benar dan salah, mereka akan cepat menangkap rasa yang menyenangkan dan rasa tidak menyenangkan bagi dirinya.
Sebagai contoh, bila si anak disuruh tidur karena sudah waktunya tidur malam oleh ibunya, tapi tiba tiba ayahnya membela, sini nak kita nonton TV sama ayah, besokkan hari minggu, jadi adik boleh nonton TV sampai puas. Jika hal ini terjadi si anak akan memilih hal hal yang lebih menyenangkan dirinya, yaitu menonton tivi bersama ayahnya, apa akibatnya ?, si anak akan menilai bahwa ibunya jahat dan menilai ayahnya baik, dan akibat fatalnya, setiap si ibu memberikan perintah, ia akan mulai melawan dengan berlindung dibalik pembelaan ayahnya. Perlahan tapi pasti si anak akan terus melawan pada ibunya. Demikian juga sebaliknya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan ?
Kita selaku orang tua harus selalu kompak, jangan pernah ada dualisme dalam mendidik anak atau melakukan standar ganda. Dihadapan si anak kita jangan pernah berbeda pendapat untuk hal hal yang berhubungan langsung dengan pola mendidik anak, Ingat pada saat salah satu dari kita sedang mendidik anak, maka pasangan kita harus selalu mendukungnya. Apabila ada pandangan yang berbeda dalam mendidik anak, bicarakan hal ini secara pribadi dengan pasangan kita.
Seharusnya yang kita lakukan adalah, saat pasangan kita menyuruh si anak tidur karena waktunya sudah malam, maka kita ikut mendukungnya dengan berkata,” iya… adik sekarang tidur dulu ya, sekarang sudah larut malam, supaya besok bangunnya tidak kesiangan, dan nonton tivinya bisa dilanjutkan esok hari”.
5. Menakut-nakuti si anak
Kebiasaan yang sering dilakukan para orang tua, bila si anak menagis dan berusaha untuk menenangkannya adalah menakut-nakuti, Seperti contoh, “Eh kalau adik menagis terus, nanti disuntik lho sama dokter !”. Atau contoh lain,”Awas ada pak polisi, kalau adik menangis terus nanti ditangkap oleh pak polisi!”.
Analisanya : Kebiasaan menakut-nakuti ini hampir mirip dengan kebiasaan mengancam, memang anak akan cenderung berhenti menangis dan menuruti keinginan kita, namun dengan pernyataan menakut-nakuti dan ancaman seperti itu, sebenarnya kita menanamkan rasa tidak suka atau benci pada pihak yang kita sebutkan, juga kita sebenarnya telah merendahkan diri kita, bahwa kita tidak punya kuasa apa apa untuk melarangnya. Akibatnya anak kita akan tidak suka atau takut dengan figure dokter atau figure pak polisi, yang sebenarnya tindakan ini sangat keliru sekali, karena kita akan sering berhubungan dengan dokter ketika anak kita sakit, akibatnya, bila anak kita sakit betulan, dan saatnya akan membawanya ke dokter, maka si anak akan segera menolaknya dengan berbagai cara.
Apa yang sebaiknya kita lakukan ?
Berkatalah jujur dan berikan pengertian pada si anak, seperti kita memberikan pengertian pada oarng dewasa, karena sesungguhnya anak anak juga mampu berpikir dewasa. Seharusnya yang kita lakukan adalah, Adik jangan menangis terus ya, kalau adik menangis terus nanti suara adik akan hilang, karena tenggorokan adik sakit, kalau tenggorokan adik sakit, adik tidak bisa memakan makanan kesukaan adik”.
6. Selalu memberi hadiah untuk perilaku yang buruk
Sering kali kita selaku orang tua tidak konsisten terhadap anak kita, bila hal ini terjadi, tanpa disadari kita telah mengajarkan anak kita untuk melawan kita. Seperti contoh, saat kita mengajak jalan jalan di sebuah pertokoan, tiba tiba si anak menginginkan mainan yang dilihatnya di toko yang kita lalui, saat itu kita melarangnya, dengan ucapan,” Adik, kan adik sudah punya mainan itu, kenapa harus membelinya lagi ?”. Namun si anak tidak mau mengerti, yang ia inginkan adalah semua keinginannya dikabulkan oleh orang tuanya, maka ia mulai menyusun siasat dengan berbagai cara untuk mendapatkan keinginannya itu, seperti dengan cara merengek terus hingga menangis, bila tidak dituruti maka ia akan menagis dengan suara yang lebih keras lagi, akibatnya kita orang tua menjadi terpojok, dari pada malu dengan orang orang sekitar, maka kita mengucapkan,”Iya iya…beli sana, tapi hanya satu saja ya, yang lain tidak boleh !”.
Analisanya : Inilah yang dimaksud dengan memberikan hadiah untuk perilaku buruk anak kita, akibatnya bila kita membiarkannya terus terjadi, ini akan menjadi senjata buat si anak, setiap saat kita mengajaknya jalan jalan ke pertokoan.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Sebaiknya kita tetap berlaku konsisten terhadap anak kita, tidak perlu malu atau takut dikatakan sebagai orang tua yang ‘tegaan’ atau ‘kikir’, Ingatlah selalu, bahwa kita sedang mendidik anak, sekali kita konsisten, maka si anak tak akan pernah mencobanya lagi.
Sebaiknya kita mengucapkan,”Adik…kan adik sudah punya banyak mainan di rumah, lebih baik uangnya kita tabung saja, kan bisa untuk membeli keperluan adik yang lain, kan sebentar lagi kita lebaran, apa adik tidak mau beli baju lebaran yang baru seperti teman teman adik ?”
Nah inilah sebagian dari kebiasaan kebiasaan para orang tua yang kadang tidak disadari, akan berpengaruh buruk pada perkembangan mental anak anak kita.
Sebenarnya masih banyak ulasan ulasan lain yang berkaitan dengan kebiasaan kebiasaan para orang tua ini dalam mendidik anak anak kita.
Semoga saja apa yang kita tuangkan dalam tulisan ini dapat diambil manfaatnya, kita tentunya sangat berharap perkembangan jiwa/mental dan fisik anak anak kita akan menjadi sangat baik, dan nantinya generasi mendatang yang akan menggantikan kita, akan menjadi generasi yang tangguh, sehingga bangsa ini akan semakin tangguh dan semakin besar dan maju.
Sumber:
Dr. Anugra Martyanto. (Kaskus)