LEMBAGA pemasyarakatan (LP atau lapas) adalah institusi yang dipercaya oleh sistem pemidanaan modern sebagai wadah untuk memperbaiki manusia terpidana. Perampasan kemerdekaan selama waktu tertentu (yang diasumsikan tidak enak itu) diyakini dapat membuat seorang terpidana menjadi jera.
Secara teori, selama di LP terpidana akan menjalani serangkaian pembinaan secara sistematik sehingga perilaku jahat dan tercela yang pernah dilakukannya akan ditinggalkan, dan ia akan dapat kembali diterima oleh masyarakat manakala masa pidananya telah habis.
Namun, terungkapnya jaringan narkoba kelas kakap di lingkungan LP Nusakambangan Cilacap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) sungguh menjungkirbalikkan bangunan ide LP sebagai institusi yang memulihkan harkat dan martabat mereka yang terbilang sebagai terpidana. LP yang diidealkan menjadi sarana purifikasi telah berubah menjadi tempat di mana kejahatan menemukan lahannya yang subur untuk tumbuh dan berbiak.
Setidaknya ada tiga hal yang patut direnungkan dari fenomena yang memprihatinkan dalam penegakan hukum terkait dengan institusi pemidanaan ini. Pertama; alih-alih berhasil melakukan pembinaan, rehabilitasi, dan menjerakan, LP justru menimbulkan destruksi terhadap warga binaan. Terpidana pengedar narkoba menemukan tempat yang lebih aman dalam melakukan kejahatannya dibandingkan manakala ia belum menyandang status sebagai warga binaan.
Lebih jauh, jika pengguna narkotika pada taraf tertentu adalah adalah suatu bentuk sakit (sickness) dan bukannya kejahatan (crime) yang harus disembuhkan (to be healed) ketimbang dipidana (to be punished), LP membuat seorang warga binaan yang sakit menjadi makin sakit, atau yang tadinya tidak sakit menjadi sakit. Hal ini karena bisa terjadi seseorang yang menjalani pidana yang tak ada kaitannya dengan narkoba akan berubah menjadi pengguna narkoba ketika menjalani penghuni LP.
Kedua; LP telah menjadi tempat kejahatan tumbuh di tempat perilaku jahat dan tercela seharusnya dienyahkan. Sebagaimana diberitakan (SM, 02/03/11), hasil tes urine sejumlah sipir yang positif mengandung narkotika mengindikasikan bawa petugas LP menjadi aktor penting bisnis haram narkoba keluar masuk Nusakambangan.
Transaksi Ilegal Petugas pemasyarakatan yang menurut Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan memiliki peran penting dalam pembinaan dan membimbing warga binaan justru menjadi pelanggar hukum pada bagian paling akhir dari sebuah sistem pemidanaan. Secara falsafati, tulisan ini bahkan meyakini bahwa beberapa sipir yang terlibat dalam kasus peredaran narkoba lebih pantas mendapatkan pembinaan dari warga binaan yang selama ini berada dalam pengawasan mereka.
Ketiga; terungkapnya jaringan narkoba yang dipimpin seorang ’’jenderal besar’’ berinisial Y di Nusakambangan seolah mengafirmasi tesis bahwa karakteristik LP yang secara umum amat tertutup dan ketat dalam mengontrol lalu lang orang, barang, dan informasi justru amat rawan terhadap korupsi kuasa. Terbongkarnya jaringan narkoba di lingkungan LP Nusakambangan pada paro pertama 2011 ini hanyalah satu dari serentetan kasus serupa yang terjadi di berbagai LP di Indonesia. Tak berlebihan jika kemudian publik meyakini bahwa berbagai macam transaksi ilegal lainnya juga terjadi di lingkungan LP Nusakambangan.
Masih teramat segar dalam benak masyarakat betapa Artalyta Suryani alias Ayin, terpidana makelar kasus jaksa Urip Tri Gunawan menikmati fasilitas mewah Rutan Pondok Bambu. Ketatnya akses keluar masuk LP yang utamanya dimaksudkan untuk memastikan bahwa warga binaan tetap berada di lingkungan Lapas hingga usai masa pidana terbukti menimbulkan peluang transaksional para aparat yang ada di dalamnya.
Pencopotan Kepala LP Besi Nusakambanan oleh Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jateng merupakan tindakan tepat. Namun tindakan administratif ini perlu dibarengi penegakan hukum projustitia dan upaya sistematik membersihkan Nusakambangan dari petugas nakal. Kasus Nusakambangan memberikan satu pelajaran berharga bagi sistem pemidanaan negeri ini: bahwa sudah seharusnya kontrol ketat diterapkan tidak saja pada warga binaan dan pembesuk, namun juga terhadap petugas pemasyarakatan.
Secara teori, selama di LP terpidana akan menjalani serangkaian pembinaan secara sistematik sehingga perilaku jahat dan tercela yang pernah dilakukannya akan ditinggalkan, dan ia akan dapat kembali diterima oleh masyarakat manakala masa pidananya telah habis.
Namun, terungkapnya jaringan narkoba kelas kakap di lingkungan LP Nusakambangan Cilacap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) sungguh menjungkirbalikkan bangunan ide LP sebagai institusi yang memulihkan harkat dan martabat mereka yang terbilang sebagai terpidana. LP yang diidealkan menjadi sarana purifikasi telah berubah menjadi tempat di mana kejahatan menemukan lahannya yang subur untuk tumbuh dan berbiak.
Setidaknya ada tiga hal yang patut direnungkan dari fenomena yang memprihatinkan dalam penegakan hukum terkait dengan institusi pemidanaan ini. Pertama; alih-alih berhasil melakukan pembinaan, rehabilitasi, dan menjerakan, LP justru menimbulkan destruksi terhadap warga binaan. Terpidana pengedar narkoba menemukan tempat yang lebih aman dalam melakukan kejahatannya dibandingkan manakala ia belum menyandang status sebagai warga binaan.
Lebih jauh, jika pengguna narkotika pada taraf tertentu adalah adalah suatu bentuk sakit (sickness) dan bukannya kejahatan (crime) yang harus disembuhkan (to be healed) ketimbang dipidana (to be punished), LP membuat seorang warga binaan yang sakit menjadi makin sakit, atau yang tadinya tidak sakit menjadi sakit. Hal ini karena bisa terjadi seseorang yang menjalani pidana yang tak ada kaitannya dengan narkoba akan berubah menjadi pengguna narkoba ketika menjalani penghuni LP.
Kedua; LP telah menjadi tempat kejahatan tumbuh di tempat perilaku jahat dan tercela seharusnya dienyahkan. Sebagaimana diberitakan (SM, 02/03/11), hasil tes urine sejumlah sipir yang positif mengandung narkotika mengindikasikan bawa petugas LP menjadi aktor penting bisnis haram narkoba keluar masuk Nusakambangan.
Transaksi Ilegal Petugas pemasyarakatan yang menurut Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan memiliki peran penting dalam pembinaan dan membimbing warga binaan justru menjadi pelanggar hukum pada bagian paling akhir dari sebuah sistem pemidanaan. Secara falsafati, tulisan ini bahkan meyakini bahwa beberapa sipir yang terlibat dalam kasus peredaran narkoba lebih pantas mendapatkan pembinaan dari warga binaan yang selama ini berada dalam pengawasan mereka.
Ketiga; terungkapnya jaringan narkoba yang dipimpin seorang ’’jenderal besar’’ berinisial Y di Nusakambangan seolah mengafirmasi tesis bahwa karakteristik LP yang secara umum amat tertutup dan ketat dalam mengontrol lalu lang orang, barang, dan informasi justru amat rawan terhadap korupsi kuasa. Terbongkarnya jaringan narkoba di lingkungan LP Nusakambangan pada paro pertama 2011 ini hanyalah satu dari serentetan kasus serupa yang terjadi di berbagai LP di Indonesia. Tak berlebihan jika kemudian publik meyakini bahwa berbagai macam transaksi ilegal lainnya juga terjadi di lingkungan LP Nusakambangan.
Masih teramat segar dalam benak masyarakat betapa Artalyta Suryani alias Ayin, terpidana makelar kasus jaksa Urip Tri Gunawan menikmati fasilitas mewah Rutan Pondok Bambu. Ketatnya akses keluar masuk LP yang utamanya dimaksudkan untuk memastikan bahwa warga binaan tetap berada di lingkungan Lapas hingga usai masa pidana terbukti menimbulkan peluang transaksional para aparat yang ada di dalamnya.
Pencopotan Kepala LP Besi Nusakambanan oleh Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jateng merupakan tindakan tepat. Namun tindakan administratif ini perlu dibarengi penegakan hukum projustitia dan upaya sistematik membersihkan Nusakambangan dari petugas nakal. Kasus Nusakambangan memberikan satu pelajaran berharga bagi sistem pemidanaan negeri ini: bahwa sudah seharusnya kontrol ketat diterapkan tidak saja pada warga binaan dan pembesuk, namun juga terhadap petugas pemasyarakatan.
Manunggal K Wardaya SH LLM, dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman