SALAH satu dari empat kebebasan (the four freedoms) yang dicanangkan oleh Presiden Amerika Franklin D Roosevelt pada awal dasawarsa 40-an adalah bebas dari rasa takut (freedom from fear). Kebebasan ini diyakini sebagai hal yang esensial selain tiga kebebasan lain (yakni kebebasan berbicara, beragama, dan dari kemiskinan) agar seorang manusia bisa menjalani kehidupan yang bermartabat sebagai manusia.
Kala itu, dunia tengah diwarnai berbagai fitur kengerian kemanusiaan yang ditampilkan oleh rezim NAZI Jerman dan dampak Perang Dunia II. Berjuta umat manusia mengalami rasa takut hanya karena ia menjadi bagian dari ras tertentu yang hendak dimusnahkan oleh NAZI dengan paham superioritas ras-nya.
Rasa takut menghinggapi benak manusia ketika ia menjadi bagian dari bangsa yang halal untuk diperbudak bahkan dimusnahkan, manakala orang hidup dalam penjajahan dimana manusia penjajah dan yang terjajah tak sekali-kali berkesamaan haknya.
Dalam pidatonya pada tahun 1990, pemimpin demokrasi Burma Aung Sang Suu Kyi mengatakan bahwa rasa takut membuat manusia kehilangan ukuran baik dan buruk. Seorang manusia yang dilanda takut, tidak akan mampu menjadi manusia yang bermartabat. Segenap potensi yang ada padanya untuk mengupayakan kesejahteraan bagi dirinya dan orang lain akan teredam. Oleh karenanya, demikian Suu Kyi, dalam masyarakat manapun yang dihinggapi rasa takut, penyimpangan kuasa dalam pelbagai bentuknya akan subur menjelma.
Sejarah bangsa ini selama berabad-abad dalam cengkeraman bangsa lain memberi berlebih bukti bahwa segala macam sanksi kejam, teror, dan perlakuan tak manusiawi dipakai sebagai instrumen menghisap kekayaan dan harga diri bangsa. Maka tepatlah Pembukaan UUD 1945 yang sedari paragraf pertama tegas menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan perikemanusiaan serta perikeadilan menjadi justifikasi moral untuk menghapuskannya.
Suasana bernegara yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa sudah barang tentu bukanlah suasana yang serupa dengan atmosfir penjajahan. Sebaliknya, dorongan untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas menjadi alasan utama bangsa ini untuk menyatakan kemerdekaannya.
Pertanyaannya: benarkah kita dalam lebih setengah abad memasuki gerbang kemerdekaan telah benar-benar merdeka, termasuk merdeka dari rasa takut?
Bom buku yang meledak di Utan Kayu pada 15 April silam seakan menjadi negasi terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang merdeka yang dicitakan para pendiri bangsa ini. Siapapun pengirim dan penerimanya, sukar dipungkiri bahwa maksud dikirimkannya bom buku itu adalah untuk menumbuhkan rasa takut. Rasa takut itu bertujuan menghentikan aktivitas orang maupun kelompok orang meski aktivitas itu adalah sah (lawful) dan oleh karenanya harus dilindungi hukum.
Cara-cara demokratis-persuasif dalam menghadapi perbedaan nyata semakin diingkari di negeri ini. Sebagai gantinya, teror dan kekerasan ditempuh dan dipandang sebagai cara yang lebih efektif untuk mencapai tujuan. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa pasca Utan Kayu, negeri ini dilanda kecemasan terkait makin maraknya fenomena 'paket mencurigakan' mulai dari rumah artis Ahmad Dhani hingga kantor DPRD di daerah.
Sesungguhnyalah telah menjadi tugas negara menurut Pasal 28G UUD 1945 untuk mewujudkan kemerdekaan dari rasa takut. Sebagai hak asasi manusia sekaligus hak konstitusional setiap orang, hak atas kebebasan dari rasa takut menimbulkan kewajiban bagi negara untuk melakukan langkah-langkah yang efektif demi penikmatan sepenuhnya akan hak ini. Sayangnya, alih-alih memberi pengayoman dan rasa tentram, negara kerapkali justru menjadi sumber dari ketakutan itu sendiri.
Realitas kehidupan bernegara dewasa ini menunjukkan betapa orang semakin tidak bebas dalam menikmati hak asasinya untuk beragama berkeyakinan karena instrumen hukum dan kebijakan penyelenggara negara yang diskriminatif. Aparatur negara gagal bahkan nampak emoh tampil menjadi sosok pelindung manakala sekelompok masyarakat melakukan aksi kekerasan terhadap kelompok masyarakat lain. Dalam berbagai bentuknya, pelanggaran HAM terus berlangsung bahkan merajalela karena seakan telah mendapat legitimasi dari negara.
Mereka yang minoritas menjadi semakin terpojok dan merasa terancam di negeri ini. Rumah besar Indonesia terasa kian sempit dengan pemaksaan kehendak mereka yang mayoritas. Demokrasi dan jaminan HAM yang dilembagakan melalui hukum dasar UUD 1945 tak jua terwujud dalam implementasinya. Sebagai gantinya, diktator mayoritas yang dibiarkan dan bahkan mendapat dukungan dari negaralah yang kian meraja.
Jika demikian halnya yang terjadi pada bangsa ini menjelang 66 tahun usia kemerdekaannya, patutlah kita merenung dan bertanya: sudahkah kita merdeka?
Dosen Hukum HAM Fak Hukum Unsoed Purwokerto