"PRAKATA REDAKSI"

Salam Alumnus,

Selamat Tahun Baru 2015

VIVA UNSOED





"BERKURBAN ATAU MEMENUHI KEBUTUHAN, Suatu Pilihan Rohani" By Agus Brenk



Alkisah ada seorang anak muda yang baru bekerja di perkantoran kawasan elit, dengan umur yang masih relatif muda ia telah mempunyai posisi serta jabatan strategis di perusahaannya ia pun sudah mengkoordinir beberapa bagian unit kerja. Dengan jabatan serta prestasi kerja yang diperolehnya tersebut income serta gaji yang diterimanya sudah pastilah di atas rata-rata, ditambah tongkrongan Fortuner yang tiap hari dibawanya sudahlah cukup menjawab pertanyaan akan kekuatan ekonominya.

Ayahnya yang berada dikampung sangat menyadari kesuksesan puteranya dan ia sangatlah bangga atas prestasi yang diraih puteranya tersebut.
Beberapa hari menjelang lebaran haji sang ayah agak risau akan tingkat ibadah yang dimilikinya, dengan pertimbangan materi yang telah dimiliki anaknya maka sang ayah mencoba menanyakan pada sang anak “apakah ingin berkurban atau tidak”, untuk masyarakat di sebuah desa kecil kampung ayahnya,  pikiran si Anak berbeda dari sang Ayah,  sebagai anak muda yang baru beberapa tahun menikmati uang hasil dari bekerja, tentu keinginan yang ada dibenaknya cukup beragam, yang jelas bukan untuk urusan ibadah seperti berkurban itu !!.
Namun atas tawaran sang ayah tadi kali ini, ia merasa bimbang. Sudah beberapa kali ia ditawari untuk berkurban oleh ayahnya, namun selalu saja ia mengelak dengan alasan masih banyak kebutuhan ini dan itu. 

Di tengah kebimbangan yang masih menggelayuti hatinya, di depan rumah ia bertemu dengan sahabat ayahnya yang kini sama-sama sudah pensiun. Beliau adalah sahabat ayahnya yang jujur, terpercaya dan sampai saat ini masih menjalin hubungan baik meski terpisah dengan ayahnya yang kini kembali ke kampung asalnya..
Pagi itu, sahabat sang ayah sedang berjalan-jalan mengelilingi komplek, ketika bertemu di depan rumah sang anak, beliau berhenti dan menanyakan kabar ayahnya,

Assalamu’alaikum. Eh Nak, gimana kabar Ayah? Katanya ada acara kurban di kampung Ayah.
Waalaikum Salam, Baik Om. Iya, Ayah memang selalu berkurban untuk masyarakat di sana.
Siapa aja yang berkurban. Kamu kurban juga ngga?

Ia pun menyebutkan beberapa saudara yang telah berkomitmen menyerahkan hewan kurban untuk kampung ayahnya, ketika menjawab pada pertanyaan menyangkut dirinya ia berujar,

Kalau saya, nggak tahu ni Om. Penginnya sih berkurban, tapi kayaknya masih banyak kebutuhan Om.”

Buru-buru sahabat sang ayahnya itu langsung menyahut dan memotong ucapannya,

Gini Nak, kalau di hati kamu sudah terbetik niatan untuk berkurban, jangan kamu tunda, berkurbanlah. Saya tahu, sebagai anak muda, kamu pasti pengin yang macam-macam. Bersenang-senang lah, jalan-jalan lah, tapi yakinlah dengan berkurban kamu akan merasakan kenikmatan yang luar biasa dan kamu akan mendapatkan rezeki yang jauh lebih besar dibanding jika kamu tidak berkurban. Yakinlah itu.

Selanjutnya, mengalirlah dari mulut sahabat sang ayah itu beberapa kata hikmah tentang ibadah kurban dan pengalaman-pengalaman ibadah yang selama ini beliau lakukan.
Kata-kata sahabat ayahnya yang dipanggilnya Om itu, begitu menghipnotis dan mengunci mati keinginan hawa nafsunya yang masih ingin berhura-hura dan bersenang-senang itu.
Di akhir pembicaraan, tekad  sang Anak untuk berkurban pertama kali itu pun membulat. Hal itu dibuktikan dengan kata-katanya,

Iya dech Om. Saya akan berkurban. Terima kasih ya Om.”

Sahabat ayahnya tampak tersenyum puas karena bisa menundukkan jiwa anak muda yang semula diliputi kebimbangan itu.

Adakalanya kita bersikap seperti “Sang Anak”  tatkala muncul dihadapan kita peluang untuk menyisihkan sebagian harta guna berkurban atau beramal untuk agama yang diperintahkan oleh Allah. Tiba-tiba saja terbayang dibenak kita aneka kebutuhan yang masih “tertunda” dan “harus” dipenuhi segera. Padahal jika kita pikir ulang, kebutuhan itu bukanlah kebutuhan sebenarnya yang bersifat mendesak melainkan hanya sekedar keinginan hawa nafsu belaka.

Dalam kondisi seperti itu, bagi yang memiliki kelebihan harta, sebenarnya kita sedang diuji, apakah kita termasuk hamba Allah yang bersyukur atau tidak. Bukankah harta yang diperoleh selama ini adalah anugerah dan pemberian-Nya? Kenapa ketika Allah Swt menghendaki kita menyisihkan sebagian kecil saja, timbul rasa berat di dalam jiwa? Sungguh jika kita mau berinstrospeksi betapa anugerah Allah Swt yang dilimpahkan kepada kita begitu banyak dan tak terhingga, hati kita akan merasa sangat ringan untuk berkorban.

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (108:1-2)

Jelas bahwa Allah memberikan kepada kita nikmat yang banyak. Kita lahir dalam kondisi tidak memiliki apa-apa. Maka segala apa yang ada pada kita kini adalah semata-mata karena nikmat dari-Nya. Guna mewujudkan rasa syukur atas kenikmatan itu, maka jalan terbaik adalah memperkuat ketaatan kepada Allah SWT. Dan ibadah kurban adalah salah satu bentuk ketaatan yang dianjurkan oleh-Nya.
Semoga kita bisa membuktikan rasa syukur kita dengan berkorban. Secara simbolis kita memang mengkorban hewan ternak, namun secara substansi kita mengkorban sifat-sifat buruk dari dalam diri kita.

Form Sumbangan Artikel, Konsultasi, Kritik & Saran Anda


Nama
Email
Judul
Artikel/Uraian
Image Verification
captcha
Masukkan Kode di Sebelah Ini:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]