Idhul Adha baru saja berlalu, umat Islam baru saja menjalani kepatuhan spiritual yang paling purba sebagai simbul ketakwaan, keikhlasan, kepasrahan kita kepada Allah SWT sebagaimana yang telah dilakukan dan dicontohkan oleh nabi Ibrahim AS. Sang nabi yang mendapat perintah untuk menyembelih anak semata wayangnya Ismail yang sangat dicintainya, di sini terujinya kepatuhan nabi Ibrahim telah mampu melahirkan pesan agama tertransformasi menjadi aksi berkurban yang bermakna keteguhan sikap ketakwaan kepada Allah juga berdimensi sosial dan solidaritas.
Perintah menyembelih Ismail yang kemudian ternyata oleh Allah diganti dengan seekor domba adalah gambaran kemenangan ketaatan. Itu mencerminkan juga bahwa pengorbanan nyawa dan harkat kemanusiaan tidak dibenarkan Allah. Hal yang boleh dikorbankan adalah binatang, lebih tepat lagi bahwa ‘kurban’ bisa jadi merupakan ‘simbol’ bahwa yang seharusnya dikorbankan adalah sikap-sikap jelek yang melekat pada diri manusia, seperti: ketamakan, kesombongan, sikap suka menindas, kikir, suka menyerang dan sikap-sikap yang tidak menghargai hukum dan norma .Hikmah berkurban yang utama adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah, kemudian menurut beberapa pemikir Islam bahwa berkurban juga mengandung hikmah perlunya solidaritas sesama Dengan berkurban, berarti seseorang tidak saja berharap dicintai Allah tetapi juga membangun jalan untuk bisa dicintai sesamanya. Melalui kurban ada tersirat makna distribusi rejeki, peran, gizi, kebahagiaan, keguyuban. Ritual itu mampu membaurkan antara mereka yang beruntung dengan yang tidak beruntung, antara yang kaya dengan yang miskin, antara yang kuat dengan yang lemah, mereka bersatu padu menjalani kepatuhan.
Solidaritas menjadi terasa penting, sangat berarti bagi bangsa ini yang sedang dirundung musibah dan cobaan. Bencana demi bencana terjadi seperti tidak henti melanda satu daerah ke daerah lain. Derita rakyat sepertinya belum sepenuhnya terobati, muncul kembali derita lain. Lihat saja, bangsa ini kena musibah anggap mulai tsunami di Aceh, gempa Jogja, gempa Jawa Barat, gempa Padang, tanah longsor di Wasior, gempa dan tsunami di Mentawai, dan tragedi meletusnya gunung Merapi di Jogja. Apa yang keliru dengan bangsa ini ???
Nah, kalau kita intropeksi. Ehmm….jangan-jangan salah satunya itu terjadi karena kuatnya solidaritas yang keliru. Terasakan, ada solidaritas segelintir orang dari bangsa ini yang mengeksploitasi bumi pertiwi ini tanpa kompromi dan kesantunan, lalu meninggalkan kerusakan alam dan disharmoni sosial, seperti: hutan gundul, pencemaran, tanah gersang, masyarakat tradisi tercerabut dari tempat hidupnya, korupsi dan nepotisme, perselisihan masyarakat, dan lain-lain. Penegakan hukum tidak akan berkeadilan mana kala ada solidaritas kebusukan di antara pelaku, aparat penegak hukum dan yang berkuasa.
Solidaritas negatif macam itu harus dikikis habis dengan apapun caranya, kalau perlu dengan cara solidaritas rakyat untuk reformasi jilid dua atau revolusi sekalipun. Solidaritas positif harus terus ditumbuh kembangkan agar cita-cita bangsa ini yaitu menciptakan keadilan dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat bisa terealisasi. Semangat solidaritas untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat harus terus dikobarkan agar mampu menjadi kekuatan perubahan dan pemandu langkah pemerintah untuk berpihak pada rakyat banyak. Pemerintah harus bersih, berwibawa, dan bekerja untuk kepentingan masyarakat banyak, bukan untuk golongan dan kelompok tertentu atau kelompok sendiri.
Solidaritas positif yang kuat muncul dari kesadaran dan tumbuh dari satu dua orang, kelompok kecil lalu menjadi gerakan seluruh masyarakat. Bukan lahir begitu saja, terlebih lagi dari melalui rekayasa. Solidaritas mesti dibangun dan ditumbuhkan dari tingkatan orang perorang, kelompok ke kelompok, bergulir seperti guguran bola salju makin lama makin besar. Lepasnya rasa solidaritas dari satu teman ke teman lain, keluarga satu ke keluarga lain, kelompok satu ke kelompok lain adalah jalan kehancuran membangun keadilan dan kesejahteraan bersama.
Tadi malam saya baru berbincang-bincang dengan beberapa teman yang merasa senasib dan sepenanggungan, semua mengeluhkan problem yang sama bahwa solidaritas teman yang dulu begitu kuat kini mulai rapuh oleh kepentingan masing-masing, oleh masalah dan harapan sendiri-sendiri. Sulit untuk melahirkan empati, sulit untuk berbagi. Hal semacam itu menunjukkan gambaran nyata dan terjadi di mana-mana, bahwa masyarakat kita tengah banyak mendapat tekanan hidup, deraan masalah yang memaksa kita harus bisa bertahan dan sukses sendiri-sendiri. Tanpa disadari kita mulai kehilangan kepedulian, tenggang rasa, semangat berbagi dan toleransi. Untuk membenahi itu, kami sepakat untuk mencoba memperbaikinya, ya…..kesadaran kami adalah bahwa perubahan kecil dari yang paling dekat dengan kita adalah awal yang paling baik. Nah, siapa mau ikut ?