Mendengar berita hukum
di media massa akhir-akhir ini rasanya jadi miris hati ini, bagaimana tidak ternyata untuk
memperjuangkan hak kita terhadap suatu nikmatnya pelayanan bisa beresiko pada
masalah hukum, maupun resiko lain di masyarakat seperti diusir maupun
dikucilkan.
Dahulu ada pepatah bagi para
penyedia jasa, bahwa “PEMBELI/KONSUMEN
ADALAH RAJA” , dengan konsep itu dahulu para pebisnis maupun penyedia
layanan berlomba untuk menarik simpati para konsumen atau penikmat jasa dengan
pelayanan yang tak terkira, para pebisnis atau pemberi jasa sangat menghindari
adanya suatu “complain” dari para pelangganya.
Saya bayangkan kehidupan di desaku,
dulu Mbok Pecel selalu bilang “monggo
dipun tumbasin” (silakan beli) dan apabila kita “complain” kurang bumbu maka buru-buru
ditambahnya, dengan masih bertanya “pripun. taksih kirang mboten”,(bagaimana, apakah masih ada yang kurang?) duh begitu
menjunjung tinggi motto di atas dan indahnya pelayanan pelanggan yang di berikan
oleh suatu komunitas masyarakat yang santun.
Kehidupan desa tersebut
berbanding terbalik bila dilihat kejadian akhir-akhir ini, kita tengok saja
masalah yang dihadapi ibu Prita, seorang konsumen/penikmat jasa sekaligus
pasien dari rumah sakit yang ternama akhirnya harus mengikuti putusan lembaga
tertinggi pengadilan untuk menikmati dinginnya sel, sekaligus harus berpisah
dengan suami dan anak-anaknya yang masih kecil, “hanya” gara-gara “complain”
terhadap pelayanan jasa kesehatan, namun malah terjerat masalah pidana karena
“mencemarkan” nama baik sebuah perusahaan yang berbentuk “Rumah Sakit” ; ada
lagi kisah dua anak kembar pelajar sekolah dasar di Malang Jawa Timur yang
terpaksa harus pindah sekolah karena orang tuanya protes dan melayangkan
surat ke Bupati karena ketidakpuasannya
terhadap pelayanan sekolah, adalagi diseputaran Surabaya tentang seorang wali murid
yang di hujat massa bahkan terpaksa pindah dari tempat tinggalnya karena
membongkar contek massal di SD.
Sepertinya masih banyak lagi
cerita-cerita di negeri ini mengenai ketidakpuasan akan nikmatnya sebuah
pelayanan namun malah berbuntut diadukan balik, apa yang terjadi sesungguhnya,
kiranya petinggi serta pengemban kewenangan ataupun wakil rakyat di negeri ini
selayaknya harus sering melakukan “study banding” namun yang tepat sasaran
serta hemat anggaran, biar para petinggi ataupun wakil rakyat mengatahui
kondisi pelayanan umum rakyat, bisa dibandingkan pelayanan rumah sakit berkelas
dengan rumah sakit umum daerah, sekali-sekali di cobalah perbandingannya dengan
jaket rakyat dimulai dari loket masuk lembaga pelayanan misalnya kelurahan, puskesmas sampai UGD, cobalah sekali-sekali bilang
tidak bawa uang pendaftaran,..pasti deh merasakan sakit dulu yang agak lama
terus dilayani setelah ada yang memberi jaminan uang pendaftaran. Kalau tuan-tuan pembesar serta wakil
rakyat pernah study banding seperti ini kayanya lebih bermanfaat dan lebih
banyak mudharatnya, karena bisa memberikan solusi serta usulan jalan keluarnya.
Memang berat tugas para kaum
petinggi serta wakil rakyat dalam mengemban tugas, namun sepertinya lebih berat
lagi ya harapan rakyat bawah mendapat nikmatnya pelayanan setelah membayar aneka
pajak, restribusi, ataupun pemasukan resmi lainya ke Negara.
Wassalam